filsafat bahasa by i wayan suryasa
I Wayan Suryasa
1290161009
A. Pengantar
q Perkembangan
pemikiran filsafat abad XX memiliki ciri yang sangat mononjol yaitu meletakkan
bahasa sebagai pusat perhatian para filsuf.
q Atomisme logis
misalnya berupaya untuk menjelaskan realitas dunia melalui bahasa.
q Problema inilah
yang mendorong filsuf Eropa untuk mengembangkan pemikiran filsafatnya dengan
mendasarkan bahasa dalam proses “Hermeneutika”.
Target filsuf hermeneutik:
q Filsuf hermeneutik juga mendasarkan pada filsafat bahasa
biasa namun mereka berupaya untuk memahami realitas kehidupan manusia.
q Filsuf hermeneutik menawarkan suatu cara lain untuk
melihat hakikat bahasa, yaitu bahasa dilihat sebagai cara kita memahami
kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Dalam perspektif hermeneutik,
bahasa atau lebih tepat disebut die sprachlichkeit dilihat sebagai pusat
gravitasi.
Ungkapan Yunani
q manusia dipandang sebagai “zoo logon echon”,yang
memiliki “logos”;
q Menurut filsafat Yunani hakikat bahasa adalah suatu
potensi untuk mengatasi keterbatasan diri itu, jadi manusia sebagai suatu
produk kultural yaitu suatu “konstruk linguistik”,oleh karena itu bahasa
tidak dapat dilihat saja sebagai
“medium”.
q “kenalilah dirimu!” ((Γνῶθι σεαυτόν, gnôthi seautón) Aristotele.
q Filsuf-filsuf
hermeneutik:
q Friederich
Schleiermacher,
q Wilhelm Dilthey,
q Martin
Heidegger,
q Hans Georg
Gadamer,
q Jurgen Habermas,
q Paul Ricoeur
q dan Jacques
Derrida.
q B. Friederich Schleiermacher (1768-1834)
q “Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan
satu dengan lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir, dan
hermeneutik adalah merupakan bagian dari seni berpikir itu sehingga bersifat
filosofis”.( Schleiermacher. 1977:77)
B1. Prinsip proses Hermeneutika
Pemahaman adalah suatu rekontruksi yang bertolak dari ekspresi yang telah
diungkapan dan mengarah kembali ke suasana kejiwaan di mana ekspresi tersebut
diungkapan.
q momen tata bahasa;
q momen kejiwaan;
Sedangkan prinsip yang menjadi tumpuan rekonstrunksi
bidang tata bahasa dan bidang kejiwaan diistilahkan dengan lingkaran
hermeneutika.
Menurut Schleiermacher hakikatnya adalah sesuatu yang
terformulasikan melalui bahasa. Tugas hermeneutika adalah melintasi
keterbatasan bahasa guna mencapai proses batin yaitu makna yang tercover
melalui bahasa tersebut.
“objektive geist”
Oleh karena itu Schleiermacher berangkat dari analisis
karya teks, sehingga bahasa merupakan persoalan yang fundamental dalam
hermeneutika, yang berarti lingkaran-lingkaran hermeneutika tersebut harus
mampu menembus formulasi bahasa.
C. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm Dilthey was the founder of German historicism.
C1. Pemikiran Filosofis dan karya
q "Introduction to the sciences of the spirit" He reaffirms the importance of historicity in the
discovery of the influence of social causes about the formation of man and the world, and
supports the primacy and autonomy of the facts in the history.
q "The contribution to the study of
individuality" Dilthey defines
that the object to understanding is the individuality, which is studied through
the use of types and their internal relations.
q "Studies for the foundation of the human
sciences“;“The construction of the historical world“.
The pillars of the historical reason are the life of
the individual compared with the other subjects, the dynamic or structural
connection the centrality of each
structure.
q "Essence
of Philosophy" philosophy must confront the mysteries of the world and of
life as well There are three models of intuition of the world:
q the first is realism, which is part of positivism,
q the second objective idealism,
q the third is the idealism of freedom.
q C2. Bahasa dalam Proses Hermeneutika
q Tugas hermeneutika menurut Ditley adalah untuk
melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah
tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
q as arrive at universal conclusions.
q Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana
dikemukakan Dilthey tersebut Nampak pada kita bahwa bahasa memiliki peranan
yang sentral, karena proses dan dimensi hidup manumpahami dan diinterpretasi
melalui kacamata bahasa, yang diungkapkan oleh Dilthey bahwa keselurhan dapat
dipahami melalui bagian-bagiannya, sedangkan bagian-bagiannya dapat dipahami
melalui keseluruhannya.
q D. Martin Heidegger (1889-1976)
q Heidegger maintained that philosophy, in the process
of philosophizing, had lost sight of the being it sought. He advocated a return
to the practical being in the world, allowing it to reveal, or
"unconceal" itself as concealment.
q “Being and Time” is considered one of the most important philosophical works of the 20th
century. Heidegger's influence has been far reaching, from philosophy to
theology, deconstructionism, literary theory, architecture, and artificial
intelligence.
D1. Pemikiran filosofis
Heidegger's philosophy is founded on the attempt to
conjoin what he considers two fundamental insights:
q the first is
his observation that philosophy has attended to all the beings that can be
found in the world but has forgotten to ask what "being" itself is.
q The second intuition: experience is always already
situated in a world and in ways of being.
q This is the basis of Heidegger's "existential
analytic", as he develops it in Being and Time. In Being and
Time, Heidegger criticized the abstract and metaphysical character of
traditional ways of grasping human existence as rational animal, person, man,
soul, spirit, or subject. Dasein, then, is rather understood by
Heidegger to be the condition of possibility for anything like a philosophical
anthropology. Dasein, according to Heidegger, is care. Dasein is
an essentially tD2. Hermeneutika
q Heidegger is concerned, hermeneutics is ontology; it
is about the most fundamental conditions of man's being in the world. Yet
Heidegger's turn to ontology is not completely separated from earlier
hermeneutic philosophies.
q This reflects back on Heidegger's definition of terms
such as understanding, interpretation, and assertion.
q -Spinoza, Ast, and Schleiermacher.
q emporal being.
Hans Georg Gadamer
Secara
etimologis, kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang
berarti mengartikan, mengintepretasikan, menafsirkan,menerjemahkan. Baru dalam
abad 17 dan ke 18 istilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang
aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti danmenafsirkan dengan tepat
suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci danteks-teks klasik.
Sedangkan dalam bahasa inggrisnya hermeneutics yang berarti mengungkapkan
pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata. Dari beberapa makna ini dapat
disimpulkan bahwa hermeneutik adalah usaha atau proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Gadamer
menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar
seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai
pengertian, haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu
teks, sebelum itu telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan
dalam teks itu. Tanpa hal tersebut, tidak mungkin seseorang memperoleh
pengertian tentang teks tersebut. Jadi dengan membaca teks tersebut, prapengertian
terwujud dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Proses itulah yang disebut
sebagai lingkaran hermeneutika oleh Heidegger dan Gadamer. Meski begitu,
lingkaran sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental, yang menandai
keberadaan seseorang. Atau, mengerti tentang dunia bisa menjadi mungkin, jika
telahada prapengertian tentang dunia dan diri kita sendiri, yang memungkinkan
keberadaan kita.
Hakikat Bahasa
Orang
yang mampu menjembatani jurang antara dua bahasa, memberi titk terang yang
penting. Terjemahan bagaikan interpretasi dan penerjemahnya, seperti juga pada
hermeneut, akan menggunakan bahasa untuk menentukan bahasa. Sebagaimana
disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks, maka
pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan yang fundamental dengan bahasa. Kita
menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman,
sehingga para pembicara asli (native speaker) tidak akan gagal untuk menangkap
nuansa-nuansa bahasanya sendiri. Memang kita akui juga memindahkan konsep dalam
bahasa yang satu ke bahasa yang lain bukanlah perkara yang gampang. Kita ambil
contoh kata pain (bahasa Inggris). Dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan
istilah yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau
sifat yang dimaksud dengan kata Pain. Maka dicari istilah dalam bahasa serumpun
yang lazim. Untuk itu, kata pain (Inggris) lebih tepat diterjemahkan nyeri
(bahasa Sunda).
Gadamer
menegaskan bahwa interpretasi/terjemahan akan tepat bila pembacanya mengalami
suatu kehalusan dan irama bahasanya yang teratur. Dengan kata lain terjemahan
itu akan indah sekali bila tidak setia pada bahasa aslinya dan bila setia
sering terjemahan itu tidak indah lagi. Artinya terjemahan yang baik tidak
menurut kata-perkata (letterlet) tetapi disesuaikan dengan lagak ragam bahasa
sendiri. Dalam berbicara, hermeneutik adalah bagaikan terjemahan. Melalui
bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau dokumen
tertulis saja melainkan juga benda-benda yang bukan bahasa seperti patung, komposisi
musik, lukisan-lukisan, dsb.
Bahasa dan Sistem Tanda
Karena
bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’
(ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi titik
sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen). Menurut Gadamer,
“mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa. Karena “mengerti” bukan
saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau, tetapi merupakan sikap
paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat disimpulkan bahwa
bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan mengadakan
percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana
sungguh-sungguh terjadi sesuatu. Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik
bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat
terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa. Kaitannya dengan proses
pemahaman, Gadamer menegaskan hanya melalui bahasalah wujud (baca: makna) bisa
disingkapkan.
Berbicara
tentang bahasa, Gadamer sering menekankan bahwa bahasa tidak terutama
mengekspresikan pemikiran, tetapi mengekspresikan objek itu sendiri.
Menurutnya, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek secara
tuntas. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan bahasa, tetapi karena keberhinggaan
(baca: keluasan) subjek manusia. Selanjutnya, Gadamer juga menjelaskan bahwa
bahasa lebih dari sekadar suatu sistem tanda. Sebab, objek dan kata tidak dapat
dipisahkan. Di antara keduanya terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga
mencari suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan
melekat pada benda. Demikian pula, bahasa dan pemikiran pun membentuk suatu
kesatuan yang tak terpisahkan.
Bahasa Sebagai
Pengalaman Dunia
Bahasa
merupakan medium dan fokus dari heurmeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika
adalah contoh paradigmatis dari pemahaman, sedangkan pengalaman hermeneutis
adalah eksemplar dari kehidupan di dalam dunia sebagaimana yang disingkapkan
bahasa. Bahkan, Gadamer telah menemukan kenyataan bahwa fungsi bahasa sebagai
penunjuk barang-barang adalah arah yang terbalik. Titik berangkat seharusnnya
dari die sache selbst. Bahasa adalah pengalaman dunia. Manusia hidup di dalam
suatu dunia berkat bahasa. Di dalam bahasa, dunia tampil. Pengalaman
(welterfahrung) yang bersifat kebahasaan adalah mutlak, melampaui segala
relativitas dan hubungan di mana berbagai realitas dapat ada. Gadamer
menyatakan, ”...filsafat hermeneutika memahami dirinya sendiri bukan sebagai
posisi mutlak sebuah pengalaman, melainkan sebagai jalan pengalaman itu. Hal
ini menegaskan bahwa tidak terdapat prinsip yang lebih tinggi dari pada
mengusahakan diri tetap terbuka untuk berbicara dengan yang lain”.(Kaelan,
2002:217)
Gadamer
menyatakan, pengalaman memiliki penggabungan dialektis ”tidak dalam pengetahuan
tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang lahir dari ruang bebas pengalaman”.
Jelasnya, pengalaman disini tidak dimaksudkan untuk beragam pengetahuan
informatif yang menjaga ini atau itu. Dialektika model Gadamer ini terjadi di
dalam pengetahuan hermeneutis itu sendiri yang jadi eksemplar dari pengalaman
manusia secara umum dengan dunia. Pengalaman hermeneutis terjadi di dalam
bahasa dan berlangsung di dalam proses percakapan dengan ”teks” yang hakikatnya
adalah linguistik. Untuk mengungkapkan dengan cara lain perbedaan dia dengan
filsafat logos, Gadamer merumuskan bahwa dalam dialektika sesuatu telah
”terjadi”, sementara, menurut filsafat logos sesuatu itu ”ditemukan/disingkap”
(revealed). Contohnya, ketika seorang penafsir mengahadapi suatu teks, atau
ketika seorang sejarawan menghadapi tradisi, kedua belah pihak saling
bertanya-jawab. Di dalam permainan inilah terjadi dialektika sebuah peristiwa,
sehingga disitu ada sesuatu yang terjadi dan muncul. Adapun di dalam filsafat
logis, dialektika antara kedua belah pihak dianggap mampu menemukan atau
menyingkap sesuatu di dalam dirinya sendiri
(sintesis), kendati sebelumnya sesuatu itu sudah eksis. (Inyiak Ridwan
Muzir, 2006:43)
Struktur Spekulatif
Bahasa
adalah entitas yang terbatas, namun hal itu bukan karena keanekaragaman yang
ditimbulkan oleh bahasa, akan tetapi karena bahasa selalu berkembang dan tidak
punya kepastian arti secara mutlak, bahasa selalu “menjadi”. Gadamer menyatakan
secara interinsik bahwa bahasa mengandung struktur-struktur spekulatif.
Struktur yang dimaksud oleh Gadamer menunjuk pada karakteristik kaca cermin.
Spekulatif yang dimaksud diambil dari bahasa latin speculum yang berarti
cermin. Aktivitas bercermin menandakan adanya pantulan yang sama dengan objek,
akan tetapi pantulan itu bukanlah realitas yang sebenarnya melainkan hanya
sebuah refleksi atau penampakan semata. Dalam hal ini Gadamer setuju dengan
Aquinas yang mengatakan bahwa kata memiliki sifat seperti cermin, ungkapan
sebuah kata dapat dilihat untuk menunjukkan objek atau realitas yang ingin
ditunjuk oleh kata tersebut. Dapat dilihat bahwa strukur spekulatif bahasa
merupakan anti tesis dari sikap dogmatis terhadap bahasa. Proses pembahasaan
bukanlah merupakan asas final, tidak ada pengakuan atau sikap dogmatis, sehingga
bahasa atau kata merupakan hal yang selalu terbuka untuk ditafsirkan.
Gadamer
menganalisis keterkaitan antara bahasa dengan realitas, yakni bahasa merupakan
dasar bagi pengalaman hermeneutik. Gadamer mengungkapkan bahwa bahasa termasuk
non-instrumental, ia bukanlah alat atau media bagi manusia dalam mengungkapkan
sesuatu dan bahasa memilki struktur spekulatif. Bahasa adalah media bagi
penampakan realitas untuk mengungkapkan dunia. Bahasa terbuka dan berdialog
dengan tradisi sehingga terbuka pemahaman yang lebih luas. Namun bahasa
menurutnya tetap terbatas karena hanya menampakkan diri dari realitas dan bukan
being of reality of it self. Bahasa adalah entitas terbatas tapi juga tidak
terbatas yaitu dalam menyingkap makna dan terbuka terhadap interpretasi menuju
pemahaman baru.
Bahasa Sebagai Pusat
Hermeneutika
Gadamer
menjelaskan permasalahan bahasa dalam buku Wahrheit und methode bahwa proses
mengerti tidak akan pernah terlepas dari unsur bahasa. Bahasa bukan hanya
sebuah proses pengenalan terhadap teks-teks masa lalu tetapi merupakan
perwujudan eksistensi manusia. Bagi Gadamer, bahasa merupakan aspek dari
pengalaman hidup manusia, dari pikiran dan dari pemahaman. Bahasa bukanlah
merupakan fakta empirik, melainkan sebuah prinsip, sebuah perantara pengalaman
hermeneutik (die mitte). Ada menampakkan diri kepada manusia, berwujud bahasa
yang diungkapkan lewat percakapan hermeneutis. Kees Bertens mengutip perkataan Gadamer
tentang relevansi ontologis bahasa yang sering menjadi perdebatan dalam buku
Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, yaitu “Sein, das verstanden warden
kann, its Sprache” yang berarti Being that can be understood is language.
Gadamer
memaparkan bahwa bahasa mengungkapkan tentang realitas dunia, bahasa tidak
masuk dalam realitas subjektif manusia yang menghalangi hubungan manusia dengan
realitas. Ia juga mengungkapkan bahwa bahasa tidak akan pernah dapat
mengungkapkan segala sesuatu dengan tepat dan tuntas. Hal ini terjadi bukan
karena keterbatasan bahasa, melainkan karena adanya aspek keberhinggaan
subjektif manusia. Menurutnya bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi, dan
bukan hanya berupa sistem tanda seperti yang banyak dibahas oleh Ferdinand de
saussure dan Cassirer. Bahasa menunjukkan hakikat ada secara ontologis dan
merupakan wujud penampakan manusia secara eksistensial. Bahasa ada karena
bahasa itu sendiri, bukan karena adanya manusia.
Gadamer
menegaskan, jika bahasa dikatakan sebagai alat, maka akan ada ketakterhubungan
bahasa dan pikiran. Kata yang digunakan seperti ini hanya berfungsi sebagai
alat untuk menunjukkan sesuatu, berfungsi sebagai tanda yang menandai sesuatu.
Kata hanya bermakna tunggal, hal ini menandai pemahaman kata sebagai data yang
empiris. Sebaliknya bahasa bukanlah merupakan alat subjek untuk mengungkapkan
pikirannya, karena konsekwensinya akan terdapat pemisahan antara realitas
dengan pengertian. Menurut Gadamer, manusia tidak menciptakan kata-kata dan
tidak memberikan artinya, dalam hal ini ada kesalahan dalam teori linguistik,
karena kata yanbg digunakan adalah mengungkapkan realitas. Bahasa adalah milik
realitas. Bahasa tidak disebabkan oleh keberadaan manusia. Jadi dapat
dimengerti bahwa bahasa menurut Gadamer dibentuk oleh realitas. Bahasa
merupakan proses pengejawantahan terhadap realitas, dan manusia hanya
mengaktualisasikannya.
Lebih
jauh Gadamer mengatakan bahwa objek benda-benda tidak bisa dipisahkan dari
kata-kata bahasa. Pengalaman tidak dapat dimulai tanpa bahasa. Ketika ingin
menunjukkan kesesuaian bahasa dengan pengalaman yang kita alami, bukan berarti
kita mencari sistem tanda yang akan menunjukkan dengan pasti makna bahasa
terhadap pengalaman tersebut. Bahasa yang dihadirkan belumlah menggambarkan
realitas secara lengkap, karena memang pengalaman tersebut belum menunjukkan
kebenaran secara penuh ke dalam bahasa yang dipergunakan. Gadamer pun mengakui
bahwa ada keterkaitan erat antara objek dengan kata, sehingga kata yang
digunakan sebenarnya mencari sesuatu padanan erat yang melekat dengan objek
yang digambarkan. Begitu pula dengan eratnya kaitan antara bahasa dan
pemikiran, yang beurpa satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Jurgen
Habermas
Hermeneutika bertujuan untuk
memahami proses pemahaman – understanding the process of understanding.
Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pnegertian teoritis berpadu
menjadi satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta,
sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan. Bahasa sebagai
unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan
melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari
fakta.
Peranan Bahasa Dalam Pemahaman
Jurgen Habermas, berdasarkan
pemikirannya tentang hermeneutika dan bahasa ia membedakan antara penjelasan
dan pemahaman. Habermas menekankan bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya
makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi.
Peranan Bahasa Dalam Hermeneutika
Hermeneutika kritis, menyebutkan
bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman
adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter.
Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik,
ekonomi, sosial, suku, dan gender.
Di dalam teks tersimpan
kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus
ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah
media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai.
Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan
kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter.
Hubungan Antara Bahasa, Pengalaman, dan Tindakan
Menurut Jurgen Habermas pemahaman hermeneutik pada
dasarnya membutuhkan dialog, sebab proses memahami adalah proses kerja sama
dimana pesertanya saling menggabungkan diri satu dengan yang lainnya secara
serentak dalam dunia kehidupan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu dunia
objektif, dunia sosial, dan dunia subjektif. Dunia objektif adalah totalitas
semua entitas atau kebenaran yang memungkinkan terbentuknya
pernyataan-pernyataan yang benar. Jadi realitas yang memungkinkan kita berpikir
secara benar tentang semua hal, termasuk manusia dan binatang. Dunia sosial
adalah totalitas semua hubungan interpersonal atau antarpribadi yang dianggap
sah dan teratur. Dunia subjektif adalah totalitas pengalaman subjek pembicara
atau sering juga disebut ”duniaku sendiri” atau ”pengalamanku sendiri”. Jika
dihubungkan dengan empat konsep tentang
tindakan, maka pemahaman menjadi sangat eksprensial, yaitu:
1.
Dalam hubungannya dengan tindakan
teologis, pemahaman menggambarkan tujuan, yaitu bahwa setiap tindakan manusia
mempunyai tujuannya sendiri.
2.
Dalam hubungannya dengan tindakan
normatif, pemahaman menandai hal-hal yang bersifat normatif, seperti pengendara
menghentikan kendaraannya pada saat traffic light menunjukan warna
merah.
3.
Dalam hubungannya dengan tindakan
dramaturgik, pemahaman dapat ditunjukan dengan cara misalnya ”kita berpura-pura
melakukan sesuatu tindakan yang lain pada saat kita secara tiba-tiba berpapasan
dengan orang yang tidak kita sukai.
4.
indakan komunikasi, Habermas hendak
menunjukkan kemampuan manusia untuk melakukan pencerahan diri lewat proses
komunikasi. Melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat saling memahami dan
membebaskan. Komunikasi akan menghasilkan konsensus-konsensus yang secara sadar
dicapai oleh partisipan komunikasi tidak mengandung penindasan. Komunikasi juga
dapat menyadarkan manusia modern dari penindasan pemilik modal buta. Melalui
komunikasi, pencerahan dan pembebasan manusia dapat dicapai.
G.
Paul Ricoeur
(Menurut Paul Ricoeur, hermenuetika
adalah teori cara menggunakan pemahaman dalam hubungan dengan interpretasi
suatu teks. Sedangkan teks adalah suatu karya tulis dengan struktur yang
menyeluruh. Karya tulis yang dimaksudkan bias dalam bentuk karya sastra misalnya
novel, puisi, ataupun drama)
Adalah seorang
filsuf dari Prancis kelahiran tahun 1913. Ricoeur banyak mempelajari karya
filsuf – filsuf besar seperti Husserl, Heiddegger, Jaspers dan filsafat analika
bahasa seperti karya Wittgenstein, Austin, Searles dan tokoh filsafat lainnya.
Kemudian Ricoeur mengembangkan dan berminat pada filsafat bahasa yang ada
hubungannya dengan hermeneutika.
1.
Pemikiran
Filosofis
Dalam pemikiran ini Ricoeur berupaya
untuk mencari makna yang tersembunyi dalam symbol- symbol dalam perspektif yang
lebih luas. Tujuannya adalah memperkaya pengetahuannya dengan mengembangkan
hermeneutika pada teks.
Menurut Ricoeur setiap interprestasi
adalah usaha untuk “membongkar” makna yang terkandung dalam kesusastraan.
Ricoeur mengungkapkan bahwa kata merupakan symbol kesusastraan dengan
hermeneutika.
2.
Makna
Bahasa dalam Hermeneutika
Hakekat bahasa adalah suatu system
symbol yang terdiri atas unsur – unsur. Menurut Ricoeur sasaran dari berbagai
hermeneutika adalah “perjuangan melawan distansi cultural” dan dia memperluas
pengertiannya dalam sebuah teks.
3.
Peranan
Bahasa dalam Pemahaman
Dalam proses hermeneutika harus
dibedakan antara pemahaman, penjelasan, dan interprestasi. Namun setiap
interpreter juga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut.
Menurut Ricoeur ada 3 langkah pemahaman:
1.
penghayatan
langsung dari symbol – symbol (bahasa)
2.
pemberian
makna terhadap symbol – symbol
3.
berpikir
filosofis
contoh:
Lambang negara Indonesia berupa seekor Burung Garuda berwarna emas yang
berkalungkan perisai yang di dalamnya bergambar simbol-simbol Pancasila, dan
mencengkeram seutas pita putih yang bertuliskan "BHINNEKA TUNGGAL
IKA". Sesuai dengan desainnya, lambang tersebut bernama resmi Garuda
Pancasila. Garuda merupakan nama burung itu sendiri, sedangkan Pancasila
merupakan dasar negara Indonesia yang disimbolkan dalam gambar-gambar di dalam
perisai yang dikalungkan itu. Nama resmi Garuda Pancasila yang tercantum dalam
Pasal 36A, UUD 1945.
H. Jacques
Derrida
Adalah seorang
Filsuf dari Prancis kelahiran tahun 1930. Selain itu dia juga seorang dosen
tetap di Ecole Normale Superieur (lembaga
pendidikan tempat dia belajar) Derrida dikelompokan sebagai salah saru penulis
hermaneutika karna karya beliau berhubungan dengan bahasa dan makna.
1. Pemikiran
Filosofis
Pemikiran
Derrida sangat dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yakni fenomenologi (ilmu
pengalaman) dan strukturalisme.
2. Pemikiran
Filsafat Bahasa
Menurut
Derrida tentang “kehadiran” akan jelas bila kita mempelajari metafisika
mengenai tanda. Dalam metafisika tanda mengandung atau mewakilkan sesuatu yang
tidak hadir.
4.
Hakikat
Bahasa
Derrida membedakan antara “tanda” dengn
“symbol” yang merupakan masalah filosofis dalam bahasa. Menurut Derrida setiap
tanda bersifat manasuka (arbiter)dan tidak sesuai kodrat sebenarnya.
Pandangan Derrida adalah “tulisan
mendahului ucapan”. Bagi metafisika bahasa logologi yang kemudian dia ubah
menjadi gramatologi
5.
Bahasa
dalam Proses Hermeneutika
Derrida mengatakan bahwa bahasa adalah intensionalitas dengan
menunjukan perbedaan antara “noesis’ (pikiran) dengan “noema” (yang dipikirkan.
Contoh: seseorang melihat sebuah pohon ( tukang kayu vs pematung vs orang
sedang pacaran)
6.
Makna
Bahasa
Dalam makna bahasa Derrida memandang
secara ontologis bahwa tulisan mendahului ucapan. Seperti yang kita ketahui
dalam linguistic bahwa bahasa adalah system tanda yang bermakna. Sehingga
menurut struktualisme hakekat bahasa adalah struktur dan makna.
NB: Kattsoff
(1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy "filsafat" adalah:
Filsafat adalah berpikir secara
kritis dan berpikir dalam bentuk sistematis serta berpikir secara rasional.
Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang
runtut dan bersifat komprehensif.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home